COMMUNITY LEARNING CENTER (PKBM) AND CITIZENS’ PUBLIC HALLS (KOMINKAN)


Community learning centers began to play an increasingly important role after 2003 with the implementation of decentralisation. Decentralisation has the effect of strengthening the role the village community plays to support learning within the community.
In Indonesia, it was the initiative of the community that led to the setting up of community learning centers. Communities were concerned about the fate of marginalized groups that could not access formal education. They were also concerned about the unemployed youths in their community. Believing that the community is in the best position to identify, tap and utilise its members’ inherent potential for further economic, social and cultural growth, and believing that education should be accessible to those who seek it, community learning centers were established within communities. These community learning centers came to be called Pusat Kegiatan Belajar
Masyarakat (PKBM). In time, these centres became vital institutions for the provision of non-formal learning and skills training.
PKBMs were set up through joint community effort and collaboration. PKBMs are village community learning centers where unemployed youths are to be found. The initiative to set up PKBMs was begun by communities themselves who realized the great need to provide education for those who had missed out. PKBMs were often set up with the assistance and contribution of local leaders who could use their influence and resources to seek out premises and establish these centers. Sometimes communities were able to build a new building from community contributions. At other times public or privately-owned buildings were converted for this purpose. There are also cases where an existing premise which had hither to been used to run non-formal education programs (often schools for religious education) was converted.

PENDIDIKAN NON-FORMAL DALAM MEMBANGUN MASYARAKAT GEMAR BELAJAR (LEARNING SOCIETY)

Pendidikan non-formal sebagai bagian dari system pendidikan memiliki tugas sama dengan pendidikan lainnya (pendidikan formal) yakni memberikan pelayanan terbaik terhadap masyarakat terutama masyarakat sasaran pendidikan non-formal. Sasaran pendidikan non-formal yang semakin luas yang tidak hanya sekedar berhubungan dengan masyarakat miskin dan bodoh (terbelakang, buta pendidikan dasar, drop out pendidikan formal), akan tetapi sasaran pendidikan non-formal terus meluas maju sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perkembangan lapangan kerja dan budaya masyarakat itu sendiri. Mengingat sasaran tersebut, maka program/kegiatan pendidikan non-formal harus terus diperluas sesuai dengan kebutuhan dan kondisi perkembangan masyarakat. Pada prinsipnya perluasan kegiatan/program pendidikan non-formal harus sejalan dengan pemikiran baru tentang konsep belajar (learning), di mana belajar yang terkesan hanya berlangsung di sekolah (formal) kurang tepat lagi dan mulai bergeser ke luar setting persekolahan. Belajar harus dipandang sama dengan “living, and living itself is a process of problem finding and problem solving”. We must learn from everything we do, we must exploit every experience as a learning experience. Every institution in our community—government on non-government agencies, stores, recreational places, organizations, churches, mosques, fields, factories, cooperatives, associations, and the like becomes resources for learning, as does every person we access to parent, child, friend, service, provider, docter, teacher, fellow worker, supervisor, minister, store clerk, and so on and on, Learning means making use every resources-in or out of educational institutions—for our personal growth and development. Even the word is regarded as a classroom.(Knowles, 1975).

Warga belajar (anak-anak Indonesia) PKBM di Daerah Kundasang (Kinabalu) Malaysia


Model-Model Pelatihan

1. Perkembangan pelatihan

Pelatihan sebagai sebuah konsep program yang bertujuan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan seseorang (sasaran didik), berkembang sangat pesat dan modern. Perkembangan model pelatihan (capacity building, empowering, training dll) saat ini tidak hanya terjadi pada dunia usaha, akan tetapi pada lembaga-lembaga profesional tertentu model pelatihan berkembang pesat sesuai dengan kebutuhan belajar, proses belajar (proses edukatif), assessment, sasaran, dan tantangan lainnya (dunia global dll.).

Model pelatihan pada awalnya berkembang pada dunia usaha terutama melalui magang tradisional, dalam sebuah magang tradisional kegiatan belajar membelajarkan dilakukan oleh seorang warga belajar (sasaran didik) dan seorang sumber belajar (tutor), maka dalam perkembangan selanjutnya interaksi edukatif yang terjadi tidak hanya melalui perorangan akan tetapi terjadi melalui kelompok warga belajar (sasaran didik, sasaran pelatihan) yang memiliki kebutuhan dan tujuan belajar yang sama dengan seorang, dua orang, atau lebih pelatih (sumber belajar, trainers). Salah satu konsep mengapa model pelatihan dibangun adalah sangat bergantung pada kondisi itu (warga belajar, sasaran didik dan pelatih/tutor). Hal tersebut sangat beralasan karena kebutuhan dan tujuan pelatihan (Allison Rosset, 1987) dapat tercapai apabila warga belajar, tutor saling memahami, menghargai, pengertian dan saling membelajarkan satu dengan lainnya. (Djudju Sudjana, 1993: 12). Di dalam dunia usaha model pelatihan (Training) dibangun atas dasar kebutuhan peningkatan produksi, memperluas pemasaran, dan kemampuan perusahaan dalam memantapkan pengelolaan unit usaha itu sendiri. Interaksi edukatif yang terjadi pada model pelatihan itu adalah adanya interaksi edukatif antara tiga kelompok orang dalam kegiatan belajar nya. Kelompok pertama, adalah orang-orang yang telah memiliki keahlian dalam bidang usaha. Merekalah yang menguasai pengetahuan dan keterampilan untuk meningkatkan produksi, pengadaan bahan Baku, dan pemilikan Dana. Kelompok kedua, yakni orang-orang yang telah memiliki keahlian sebagaimana keahlian kelompok pertama. Keahlian itu mereka peroleh dengan belajar dari kelompok pertama, namun mereka tidak memiliki modal usaha. Kelompok ketiga adalah orang-orang yang belum memiliki keahlian sebagaimana keahlian yang telah dimiliki oleh orang pertama dan kedua. Orang-orang yang termasuk pada kelompok ketiga ini sedang belajar dari kelompok pertama dan atau kelompok kedua pada saat mereka bekerja di perusahaan. Dengan kata lain mereka belajar sambil bekerja. (Djudju Sudjana, 1993:13) Kondisi dan perkembangan interaksi edukatif tersebut terjadi pada abad pertengahan, ketika dunia industri mulai berkembang. (Abad pertengahan sampai awal abad ke-19)

Sejak masa rintisan sampai masa sekarang latihan terus tumbuh dan berkembang, Latihan dilakukan oleh berbagai lembaga pemerintah, badan-badan swasta, dan organisasi kemasyarakatan lainnya. Lembaga-lembaga pemerintah baik yang berstatus departemen maupun non-departemen, menyelenggarakan pelatihan dalam berbagai bidang terutama yang berhubungan dengan tugasnya, latihan tersebut di antaranya bertujuan meningkatkan kemampuan staf dan petugas dalam lingkungan mereka masing-masing. (BP3K, 1973). Beberapa kategori dan model pelatihan yang dilakukan lembaga pemerintah departemen dan non-departemen di antaranya adalah dalam bentuk: pre-service training (pra jabatan), in-service training (latihan dalam jabatan) dan social service training (latihan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat). Pelatihan-pelatihan tersebut di antaranya berdasar pada konsep kebutuhan jabatan dan atau self-actualisation.

Perkembangan pelatihan sehingga melahirkan model-model pelatihan yang sederhana sampai pada model pelatihan yang kompleks sangat bergantung pada budaya manusia (masyarakat itu sendiri). Terutama yang berkaitan dengan dunia pendidikan (belajar), usaha, manajemen, teknologi, masyarakat dll.).

Suatu model pelatihan dianggap efektif manakala mampu dilandasi kurikulum, pendekatan dan strategi yang sesuai dengan kebutuhan belajar sasaran didik dan permasalahan-permasalahan yang terjadi di tengah-tengah nya. Untuk itu diperlukan persyaratan khusus dalam membangun sebuah model pelatihan yang efektif dan efesien. Persyaratan tersebut diantaranya adalah kebutuhan belajar peserta pelatihan (sasaran didik, warga belajar dll.) istilah tersebut dalam dunia pendidikan luar sekolah dikenal dengan TNA (Training Needs Assessment), SMA (Subject Matter Analysis) dan ATD (Approaches to Training and Development). (Allison Rossett and Joseph W.Arwady, 1987).

2. Pelatihan berdasar pada kebutuhan (Training Needs Assessment)

Kebutuhan pelatihan sangat berkaitan erat dengan kebutuhan belajar, kebutuhan belajar diartikan dengan kesenjangan kemampuan di antara kemampuan yang telah dimiliki dengan kemampuan yang dituntut, atau dipersyaratkan dalam kehidupan sasaran didik (peserta pelatihan). Kemampuan tersebut menyangkut kemampuan pengetahuan, sikap, nilai, dan tingkah laku sesuai dengan aspek yang menjadi konteks perhatian. Apabila kita sedang berbicara dalam kaitannya dengan peserta pelatihan (sasaran), maka kebutuhan peserta pelatihan (sasaran) tersebut sangat berkaitan dengan pengetahuan, keterampilan dan sikap yang berlaku pada kehidupannya atau pada dunia kerjanya.

Kebutuhan belajar pada peserta pelatihan (sasaran) (manusia) dapat berkembang, bertambah dan berkurang, bahkan dapat secara berkelanjutan dan berganti-ganti. Terpenuhi nya suatu kebutuhan, dapat menjadi potensi untuk melahirkan kebutuhan baru yang kedudukannya lebih tinggi. Apabila peserta pelatihan (sasaran) telah memperoleh kemampuan membaca (sebagai kebutuhan dasar), kemudian dia menilai kemampuan membaca dirinya, setelah tahu bahwa dia mampu, dia akan berlanjut untuk mengetahui secara mendalam isi buku yang ditemuinya. Begitu pula apabila peserta pelatihan (sasaran) telah memahami pengetahuan dasar, maka secara langsung akan melakukan self-assessment dan hasil assessment tersebut akan menjadi modal untuk mengetahui pengetahuan yang lebih tinggi di atasnya. Akan tetapi di balik itu kebutuhan akan berubah bertambah dan berkurang, hal ini diakibatkan oleh keterbatasan peserta pelatihan (sasaran) dalam memandang penting atau tidaknya pengetahuan untuk diri sendiri, serta kemauan dan kemampuan dalam memahami diri.

Oleh karena itu kebutuhan belajar yang tumbuh dalam diri menuntut adanya program belajar yang dapat memenuhinya. Begitu pula keaneka ragaman kebutuhan belajar yang dirasakan menuntut adanya program belajar yang lebih aktif dan beraneka ragam pula. Sehingga usaha penetapan kebutuhan belajar perlu ada usaha untuk melakukan identifikasinya (approaches to training and development dan need assessment). Beberapa teknik TNA yang dapat dikenali diantaranya adalah : interviewing, Observing, working with groups, and writing questioners and surveys.

Ada beberapa model dalam melakukan identifikasi kebutuhan belajar : 1) model induktif, 2) model deduktif, 3) model klasik.

Membangun Kemandirian Warga Belajar

Salah satu sumber belajar yang paling utama dalam pendidikan nonformal adalah “guru” pendidikan nonformal. Namun kata guru seringkali tidak dipergunakan baik dalam konsepsi maupun praktika pembelajaran pendidikan nonformal. Guru biasanya digunakan dalam pendidikan formal atau sekolah. Dalam pendidikan nonformal seringkali guru istilahnya diganti dengan tutor, fasilitator, atau pelatih. Padahal dalam kenyataannya tutor, fasilitator, dan pelatih itu hakekatnya adalah guru.

Pada penyelenggaraan program pendidikan nonformal, tutor dan fasilitator seringkali bertindak sebagai gurunya pendidikan nonformal, baik dalam program kesetaraan (paket A, paket B dan Paket C) maupun dalam berbagai kegiatan pendidikan nonformal lainnya.
Dalam pendidikan nonformal tutor dan fasilitator memiliki fungsi dan peran yang berbeda, akan tetapi fasilitator bisa juga bertindak sebagai tutor atau sebaliknya. Tutor dalam pendidikan nonformal adalah orang yang profesional (memiliki kompetensi, kemampuan, dan keterampilan) dalam mengelola proses pembelajaran pendidikan nonformal. Tugas-tugas yang dibebankan kepadanya adalah : 1) memahami kurikulum, 2) menyiapkan bahan pembelajaran (materi), 3) memformulasi proses pembelajaran, 4) mengelola administrasi pembelajaran, 5) mengelola proses pembelajaran, 6) memotivasi peserta didik, 7) menggali-sumber-sumber pembelajaran, 8) mempartisipasikan peserta didik dalam proses pembelajaran, 9) dan mengevaluasi pembelajaran, dll. Sedangkan yang dimaksud dengan fasilitator adalah orang yang professional dalam memfasilitasi program pendidikan nonformal. Tugas-tugasnya adalah : 1) menyiapkan rencana program, 2) mengelola program, 3) menyiapkan sumber-sumber pembelajaran (manusia dan non manusia), 4) melakukan monitoring dan evaluasi program, 5) dan memelihara kelangsungan program pendidikan nonformal.dll. (peran fasilitator kominkan 2006).
Jika ditelaah dalam ma’na yang lebih mendasar, peran tutor dan fasilitator dalam pendidikan nonformal tidak hanya bertindak sebagai guru, layaknya di sekolah atau dalam proses pembelajaran lainnya, melainkan juga memiliki peran ganda. Dia tidak hanya professional dalam melaksanakan kurikulum, mengelola program pendidikan nonformal dan professional dalam mengelola proses pembelajaran, akan tetapi yang paling utama adalah professional dalam menyiapkan peserta didik menjadi manusia-manusia yang memiliki masa depan yang jelas. Dalam arti ketika proses pembelajaran berlangsung atau ketika materi pembelajaran disampaikan, apa ma’na dari proses dan materi pembelajaran tersebut bagi peserta didik, keluarga, masyarakat dan bangsanya?. Bisakah peserta didik merasakan bahwa materi tersebut mendukung terhadap nilai-nilai kehidupannya baik kehidupan sosial maupun kehidupan ekonomi?. Jika semua itu bisa dijawab dengan sempurna maka itulah yang disebut dengan guru pendidikan nonformal atau dikenal dengan tutor/fasilitator (tenaga pendidik pendidikan nonformal). Oleh karena itu pengembangan kurikulum pendidikan nonformal harus betul-betul memperhatikan dan mempartisipasikan semua komponen yang berhubungan dengan kelangsungan program pendidikan nonformal, atau tidak hanya sekedar mempartisipasikan peserta didik atau tokoh masyarakat saja.

Berdasar kepada pertanyaan dan pernyataan tersebut, tutor dan fasilitator pendidikan nonformal memiliki tugas yang sangat berat dan mendasar dalam pengembangkan kemandirian warga belajar pendidikan nonformal, oleh karenanya beberapa kompetensi yang harus dimiliki adalah: 1) terampil dan professional dalam mengelola program pendidikan nonformal, baik program secara keseluruhan maupun program pembelajaran, 2) terampil dan professional dalam membaca kebutuhan warga belajar/sasaran pendidikan nonformal, 3) terampil dan professional dalam menyiapkan dan menterjemahkan kurikulum dan materi-materi kurikulum yang dapat membangun kemandirian, 4) terampil dan professional dalam membaca masalah-masalah warga belajar dan masyarakat, 5) terampil dan profesional dalam melihat peluang-peluang baik peluang sosial maupun peluang ekonomi untuk pengembangan program dan memasarkan warga belajar, 6) terampil dan professional dalam menjual program pendidikan nonformal,7) terampil dan professional dalam menggali sumber-sumber yang dapat meningkatkan keunggulan (memiliki daya saing) dan kelangsungan program.

PERTEMUAN INTERNASIONAL DI UNIVERSITAS PBB JEPANG


Photo ini diambil pada kegiatan live long learning se dunia di Universitas PBB (Kokuren Daigaku) Shibuya Jepang, saya termasuk salah seorang utusan dari Indonesia



Citizens’ Public Halls (Kominkan)


Kominkan
A type of community center, known as Kominkan, forms a well-established part of life in local communities in Japan. There are approximately 3,000 municipalities in Japan, and 91% of them maintain one or more Kominkan, with a total of 18,000 throughout the country. A comparison with Japanese libraries, which number only 2,800, gives some of idea of the integral part they play in the life of the nation. Further, there are 24,000 elementary and 10,000 junior high schools in Japan, so there are nearly two Kominkan for every junior high school. The establishment of Kominkan is deeply related to the reconstruction of the Post-War years, and they have endured through over half a century, accomplishing a number of organizational realignments, and solidifying their place in Japanese communities. Kominkan continue to display aspects which are unique to the cultural environment of Japan, and others which are universal, such as providing opportunities for lifelong education essential for people’s lives, and must increasing expectations in the future.
These small-scale Kominkan, established and operated by the local residents, are called “Autonomous Kominkan” or “Village Kominkan”. According to the survey by the National Kominkan Association in November 2002, the number of Autonomous Kominkan had reached 76,883. This figure shows how central Autonomous Kominkan is to the life of people within the community. Autonomous Kominkan are operated and managed by the local residents, to strengthen their solidarity and improve the situation of their community. Some of them also conduct activities in collaboration with the Kominkan, supported by public funds.
Since many sorts of public facilities have now been constructed throughout Japan, both in urban and rural areas, there are many, such as community centers, whose functions are related to those of Kominkan. Nevertheless, Kominkan started out as facilities quite different than mere public assembly halls.

PEMBENTUKKAN KELOMPOK KERJA PEMBERDAYAAN TENAGA KERJA PENYANDANG CACAT

I.Pendahuluan

Penyandang cacat diartikan sebagai setiap orang yang mempunyai kelainan fisik atau mental yang dapat mengganggu dan menjadi rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara layak. Kecacatan menyangkut cacat fisik, cacat mental serta cacat fisik dan mental. Peristilahan yang dipakai untuk penyandang cacat sangat beragam dan berkembang, mulai dari cripple, handicap, impairment, hingga diffable yang berasal dari kata different ability. Terlepas dari berbagai kata dan pengertian yang dipakai berbagai kelompok, sesungguhnya hal yang paling penting adalah bagaimana kesamaan kedudukan, hak dan kewajiban serta peran penyandang cacat dapat terwujud.

Mewujudkan kesamaan dan peran tersebut bukanlah hal yang mudah. Persoalan pemahaman, paradigma dan perlakuan masyarakat yang terjadi di kehidupan pada difebel menjadi penyebabnya. Selain kebijakan negara yang kurang melindungi hak mereka, di masyarakat juga masih melekat berbagai stigma seperti penyandang cacat adalah beban, orang yang tidak berguna dan tergantung pada orang lain. Kondisi tersebut menyebabkan kelompok diffable sebagai kelompok masyarakat yang sering tidak mendapatkan hak-hak sebagai mana mestinya.

Seorang pengamat kaum difabel bahkan menyatakan bahwa kelompok masyarakat difabel ini sebagai kelompok masyarakat yang paling miskin di antara yang miskin, kelompok paling tertindas di antara yang tertindas. Keterbatasan dan diskriminasi dalam akses pendidikan bagi anak penyandang cacat, kurangnya pelatihan dan kesempatan kerja, sulitnya akses untuk perawatan kesehatan termasuk informasi kesehatan reproduksi dan seksual bagi perempuan penyandang cacat, jaminan mendapat alat bantu, permasalahan kesetaraan perempuan penyandang cacat, kurangnya akses terhadap sarana air bersih, informasi dan teknologi, Kemiskinan di mana 20-30% diantara orang miskin adalh penyandang cacat dan 90% dari jumlah penyandang cacat adalah buta huruf (yutaka takamine, disability issues in East Asia:Review and Ways Forward), aksesibilitas lingkungan fisik (meliputi jalan, bangunan, dan perumahan) yang sangat buruk, tidak adanya sarana transportasi umum yang aksesibel sehingga sangat menyulitkan penyandang cacat untuk mengakses tempat pelayanan publik itu sendiri, kesetaraan kesempatan berperan aktif dalam pembangunan serta menikmatinya, kesempatan berperan dalam mengambil kebijakan, diskriminasi dalam hukum, tidak adanya statistik yang akurat, serta sikap masyarakat yang masih negatif dengan stigma dan prasangka buruk terhadap penyandang cacat. Semua itu adalah permasalahan penyandang cacat yang sampai saat ini masih sangat dirasakan.

Pada tahun 2000, WHO memperkirakan jumlah penyandang cacat sebanyak 10% dari populasi penduduk, Menurut BPS tahun 2000 bahwa 65.6% penyandang cacat tinggal di pedesaan serta 34.2% tinggal di perkotaan dan 55.7% adalah perempuan (Country Profile Republic of Indonesia, APCD). Data kependudukan berdasarkan hasil sensus Demografi dan Kesehatan yang diadakan oleh Biro Pusat Statistik (BPS) dan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pada tahun 2002 s.d. 2003 menunjukkan populasi penyandang cacat adalah sebesar 5% dari total populasi penduduk Indonesia, atau kurang lebih 10 juta jiwa penyandang cacat yang ada di Indonesia. Hasil ini menunjukkan bahwa secara kuantitatif sasaran pemberdayaan tenaga kerja penyandang cacat adalah tidak sedikit, dan memerlukan penanganan yang bersifat khusus

Berdasarkan hasil identifikasi masalah diatas dirumuskan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana deskripsi tahapan penyelenggaraan program yang dilakukan oleh lembaga dalam upaya pembentukan kelompok kerja pemberdayaan tenaga kerja penyandang cacat yang dilaksanakan di Sekolah Luar Biasa Cicendo Bandung?
2. Bagaimana deskripsi rancangan model konseptual yang diterapkan dalam program pembentukan kelompok kerja pemberdayaan tenaga kerja penyandang cacat yang dilaksanakan di Sekolah Luar Biasa Cicendo Bandung?
3. Bagaimana kendala dan permasalahan apa saja yang dialami pada kegiatan yang dilakukan oleh lembaga dalam kegiatan pembentukan kelompok kerja Pemberdayaan tenaga kerja penyandang cacat yang dilaksanakan di sekolah Luar Biasa Cicendo Bandung?

II.Tujuan

Secara umum tujuan yang ingin dicapai dari upaya pembentukkan kelompok kerja pemberdayaan tenaga kerja penyandang cacat adalah diperolehnya suatu pola yang dapat membantu para penyandang cacat sehingga dapat menjadi bagian masyarakat yang berfungsi penuh, menyeluruh dan terpadu, dengan memperhatikan aspek keberfungsian dan ketidakmampuan para penyandang cacat. Sedangkan secara khusus, tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mampu mendeskripsikan tahapan penyelenggaraan program yang dilakukan oleh lembaga dalam upaya pembentukan kelompok kerja pemberdayaan tenaga kerja penyandang cacat yang dilaksanakan di Sekolah Luar Biasa Cicendo Bandung.
2. Mampu mendeskripsikan rancangan model konseptual yang diterapkan dalam program pembentukan kelompok kerja pemberdayaan tenaga kerja penyandang cacat yang dilaksanakan di sekolah luar biasa cicendo Bandung.
3. Mampu menjelaskan kendala dan permasalahan apa saja yang dialami pada kegiatan yang dilakukan oleh lembaga dalam kegiatan pembentukan kelompok kerja pemberdayaan tenaga kerja penyandang cacat yang dilaksanakan di Sekolah Luar Biasa Cicendo Bandung

III. Kesimpulan

Berdasarkan pengolahan hasil penelitian sebagaimana dikemukakan pada bab terdahulu dapatlah disimpulkan sebagai berikut:

1. Program pemberdayaan penyandang cacat melalui pembentukan POKJA memberikan tuntutan untuk memberikan nilai tambah yang baik kepada peserta program, agar program memiliki nilai outcome yang tinggi. Dalam pengertian kualitas output dapat memenuhi tujuan dan hasil yang diharapkan. Untuk proses awal menyangkut disain dan persiapan awal program memerlukan perharian yang khusus, dimana kualitas input akan menentukan kualitas output yang dihasilkan.
2. Sekolah Luar Biasa Negeri Cicendo memandang bahwa proses pembelajaran memerlukan penanganan yang sungguh-sungguh sehingga nilai tambah kecakapan hidup yang diberikan kepada peserta program memiliki daya guna yang optimal. Untuk itu kesesuaian kebutuhan kecakapan hidup dengan bidang garapan yang ada di masyarakat sekitar khususnya potensi lingkungan menjadi salah satu pertimbangan dari pihak sekolah dengan menjadikan para peserta didik dapat mengikuti program pemberdayaan melalui pembentukan POKJA untuk lebih meningkatkan kemampuan vokasional peserta didiknya. Selain itu diharapkan akan memberikan peningkatan kualitas hidup melalui penambahan kemampuan skill yang mendukung dan memperkuat garapan yang sedang dijalankan.