PEMBENTUKKAN KELOMPOK KERJA PEMBERDAYAAN TENAGA KERJA PENYANDANG CACAT

I.Pendahuluan

Penyandang cacat diartikan sebagai setiap orang yang mempunyai kelainan fisik atau mental yang dapat mengganggu dan menjadi rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara layak. Kecacatan menyangkut cacat fisik, cacat mental serta cacat fisik dan mental. Peristilahan yang dipakai untuk penyandang cacat sangat beragam dan berkembang, mulai dari cripple, handicap, impairment, hingga diffable yang berasal dari kata different ability. Terlepas dari berbagai kata dan pengertian yang dipakai berbagai kelompok, sesungguhnya hal yang paling penting adalah bagaimana kesamaan kedudukan, hak dan kewajiban serta peran penyandang cacat dapat terwujud.

Mewujudkan kesamaan dan peran tersebut bukanlah hal yang mudah. Persoalan pemahaman, paradigma dan perlakuan masyarakat yang terjadi di kehidupan pada difebel menjadi penyebabnya. Selain kebijakan negara yang kurang melindungi hak mereka, di masyarakat juga masih melekat berbagai stigma seperti penyandang cacat adalah beban, orang yang tidak berguna dan tergantung pada orang lain. Kondisi tersebut menyebabkan kelompok diffable sebagai kelompok masyarakat yang sering tidak mendapatkan hak-hak sebagai mana mestinya.

Seorang pengamat kaum difabel bahkan menyatakan bahwa kelompok masyarakat difabel ini sebagai kelompok masyarakat yang paling miskin di antara yang miskin, kelompok paling tertindas di antara yang tertindas. Keterbatasan dan diskriminasi dalam akses pendidikan bagi anak penyandang cacat, kurangnya pelatihan dan kesempatan kerja, sulitnya akses untuk perawatan kesehatan termasuk informasi kesehatan reproduksi dan seksual bagi perempuan penyandang cacat, jaminan mendapat alat bantu, permasalahan kesetaraan perempuan penyandang cacat, kurangnya akses terhadap sarana air bersih, informasi dan teknologi, Kemiskinan di mana 20-30% diantara orang miskin adalh penyandang cacat dan 90% dari jumlah penyandang cacat adalah buta huruf (yutaka takamine, disability issues in East Asia:Review and Ways Forward), aksesibilitas lingkungan fisik (meliputi jalan, bangunan, dan perumahan) yang sangat buruk, tidak adanya sarana transportasi umum yang aksesibel sehingga sangat menyulitkan penyandang cacat untuk mengakses tempat pelayanan publik itu sendiri, kesetaraan kesempatan berperan aktif dalam pembangunan serta menikmatinya, kesempatan berperan dalam mengambil kebijakan, diskriminasi dalam hukum, tidak adanya statistik yang akurat, serta sikap masyarakat yang masih negatif dengan stigma dan prasangka buruk terhadap penyandang cacat. Semua itu adalah permasalahan penyandang cacat yang sampai saat ini masih sangat dirasakan.

Pada tahun 2000, WHO memperkirakan jumlah penyandang cacat sebanyak 10% dari populasi penduduk, Menurut BPS tahun 2000 bahwa 65.6% penyandang cacat tinggal di pedesaan serta 34.2% tinggal di perkotaan dan 55.7% adalah perempuan (Country Profile Republic of Indonesia, APCD). Data kependudukan berdasarkan hasil sensus Demografi dan Kesehatan yang diadakan oleh Biro Pusat Statistik (BPS) dan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pada tahun 2002 s.d. 2003 menunjukkan populasi penyandang cacat adalah sebesar 5% dari total populasi penduduk Indonesia, atau kurang lebih 10 juta jiwa penyandang cacat yang ada di Indonesia. Hasil ini menunjukkan bahwa secara kuantitatif sasaran pemberdayaan tenaga kerja penyandang cacat adalah tidak sedikit, dan memerlukan penanganan yang bersifat khusus

Berdasarkan hasil identifikasi masalah diatas dirumuskan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana deskripsi tahapan penyelenggaraan program yang dilakukan oleh lembaga dalam upaya pembentukan kelompok kerja pemberdayaan tenaga kerja penyandang cacat yang dilaksanakan di Sekolah Luar Biasa Cicendo Bandung?
2. Bagaimana deskripsi rancangan model konseptual yang diterapkan dalam program pembentukan kelompok kerja pemberdayaan tenaga kerja penyandang cacat yang dilaksanakan di Sekolah Luar Biasa Cicendo Bandung?
3. Bagaimana kendala dan permasalahan apa saja yang dialami pada kegiatan yang dilakukan oleh lembaga dalam kegiatan pembentukan kelompok kerja Pemberdayaan tenaga kerja penyandang cacat yang dilaksanakan di sekolah Luar Biasa Cicendo Bandung?

II.Tujuan

Secara umum tujuan yang ingin dicapai dari upaya pembentukkan kelompok kerja pemberdayaan tenaga kerja penyandang cacat adalah diperolehnya suatu pola yang dapat membantu para penyandang cacat sehingga dapat menjadi bagian masyarakat yang berfungsi penuh, menyeluruh dan terpadu, dengan memperhatikan aspek keberfungsian dan ketidakmampuan para penyandang cacat. Sedangkan secara khusus, tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mampu mendeskripsikan tahapan penyelenggaraan program yang dilakukan oleh lembaga dalam upaya pembentukan kelompok kerja pemberdayaan tenaga kerja penyandang cacat yang dilaksanakan di Sekolah Luar Biasa Cicendo Bandung.
2. Mampu mendeskripsikan rancangan model konseptual yang diterapkan dalam program pembentukan kelompok kerja pemberdayaan tenaga kerja penyandang cacat yang dilaksanakan di sekolah luar biasa cicendo Bandung.
3. Mampu menjelaskan kendala dan permasalahan apa saja yang dialami pada kegiatan yang dilakukan oleh lembaga dalam kegiatan pembentukan kelompok kerja pemberdayaan tenaga kerja penyandang cacat yang dilaksanakan di Sekolah Luar Biasa Cicendo Bandung

III. Kesimpulan

Berdasarkan pengolahan hasil penelitian sebagaimana dikemukakan pada bab terdahulu dapatlah disimpulkan sebagai berikut:

1. Program pemberdayaan penyandang cacat melalui pembentukan POKJA memberikan tuntutan untuk memberikan nilai tambah yang baik kepada peserta program, agar program memiliki nilai outcome yang tinggi. Dalam pengertian kualitas output dapat memenuhi tujuan dan hasil yang diharapkan. Untuk proses awal menyangkut disain dan persiapan awal program memerlukan perharian yang khusus, dimana kualitas input akan menentukan kualitas output yang dihasilkan.
2. Sekolah Luar Biasa Negeri Cicendo memandang bahwa proses pembelajaran memerlukan penanganan yang sungguh-sungguh sehingga nilai tambah kecakapan hidup yang diberikan kepada peserta program memiliki daya guna yang optimal. Untuk itu kesesuaian kebutuhan kecakapan hidup dengan bidang garapan yang ada di masyarakat sekitar khususnya potensi lingkungan menjadi salah satu pertimbangan dari pihak sekolah dengan menjadikan para peserta didik dapat mengikuti program pemberdayaan melalui pembentukan POKJA untuk lebih meningkatkan kemampuan vokasional peserta didiknya. Selain itu diharapkan akan memberikan peningkatan kualitas hidup melalui penambahan kemampuan skill yang mendukung dan memperkuat garapan yang sedang dijalankan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar